Oleh: Syarifah Zainab
Kost
penuh dengan makanan pasca dua minggu lebaran. Puasa mempertajam insting ngemil para penghuni Tulips’s, tak
terkecuali aku. Makanan mulai dari Aceh, Surabaya, Tuban, hingga Kalimantan
tersedia bak toserba di Pasar Besar.
Formasi
Tulip’s lantai dua lengkap. Tapi, kemana Findi? Penghuni kamar nomor delapan
tidak hadir di acara Camilan Nusantara
Party ini.
“Findi
keluar, ya? tanyaku.
“Nggak,
Mbak. Tadi ada di kamar kok,” jawab Arga, adik kostku.
“Kok
nggak ikut makan-makan?” tanyaku lagi.
“Findi
lagi diet, Mbak. No Dinner, No nyamil,” lanjut Riski.
“Wah,
sayang banget. Padahal ini adanya cuma setahun sekali,” kali ini Wahyu
menimpali, sang penakluk kamar nomor enam.
“Rugi…,
rugi banget,” sambung Hesti.
***
Pukul
22:15 WIB, saat pintu kamarku diketuk Findi.
“Mbak,
bisa minta tolong kerokin punggungku, nggak? Aku masuk angin, nih,” rengeknya.
“Ha?
Waduuh.., aku nggak berani, Fin. Aku takut ngerokin
orang. Nggak tega,” Jawabku sambil melongokkan wajah di pintu kamar.
“Oh, ya udah, deh, aku minta tolong
Riski aja”
Ternyata tak seorang pun memiliki
bakat ngerokin orang di kost-an
Tulip’s ini. Semua sama tak teganya.
Akhirnya aku, Riski dan Arga, ikut
masuk ke kamar Findi. Sekedar menemaninya dan berbingung-ria, ini mesti diapakan.
Wajah Findi tirus dan pucat tak karuan. Saran hanya satu, “Diolesin minyak kayu
putih saja”.
Cerita punya cerita di malam itu
juga. Ternyata perut Findi sudah seminggu tak berkawan dengan nasi. Lambung made in Indonesia itu cuma dijatah Juice apel tiga kali sehari. Tidak
berkesudahan repet panjangku.
Apa-apaan ini! Kucing saja tidak akan sanggup hidup tanpa nasi!
Belum selesai ‘orasi ilmiah’ku, Riski
melirik keranjang pernak-pernik di kamar Findi.
“Loh? Kamu masih konsumsi obat ini,
Fin?” Tanya Riski, aneh.
“Hmm.., iya,” jawab Fini was-was.
“Sebenarnya…, tadi siang aku minum
obat itu, terus kok tiba-tiba badanku kaku semua, nggak bisa gerak. Makanya aku
nggak keluar kamar seharian,” lanjut Findi dengan suara lemas.
Reflek
kami bertiga, aku, Riski, dan Arga, berpandangan satu sama lain. Aku rasa kami
sama-sama berpikir, “Berani amat”. Obat diet itu tidak ada izin dari POM.
Seharusnya tidak ada lagi alasan untuk tetap menkonsumsinya.
Kuambil
kotak obat itu. “Hidup obat laknat ini
harus berakhir malam ini juga. Besok pagi, angkutan sampah akan menjadi tempat
terakhirnya di muka bumi,” batinku berlebihan.
Tidak
selamat Findi malam ini, ‘orasi’ masih mengguyur telinganya. Tidak aku saja,
Riski dan Arga pun tak kalah semangat mengayun-ayunkan spanduk-spanduk
berisikan kata “Jauhkan diri dari program diet tak sehat”, sesekali meneriakkan
kata setuju dengan apa yang diucapkan ‘sang orator’ (sumpah!! Berlebihan
banget).
“Udah
tau nggak ada izinnya kenapa masih diminum aja??!!”
“Besok
mesti ke rumah sakit,” perintahku.
“Iya,
Mbak,” jawab Findi lemas.
“Besok-besok,
aku nggak mau dengar kamu masuk angin, kaku-kaku, pucat, gemetaran, karena obat
diet,” ancamku.
“Iya,
Mbak. Baru kali ini kok. Nggak mau lagi, sumpah, dah,”
“Ya,
sudah. Sekarang istirahat aja,” perintahku menutup malam tragedi obat diet yang
suram itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar