Kamis, 28 Februari 2013

“Diet Sesat ”


Oleh: Syarifah Zainab

Kost penuh dengan makanan pasca dua minggu lebaran. Puasa mempertajam insting ngemil para penghuni Tulips’s, tak terkecuali aku. Makanan mulai dari Aceh, Surabaya, Tuban, hingga Kalimantan tersedia bak toserba di Pasar Besar.
Formasi Tulip’s lantai dua lengkap. Tapi, kemana Findi? Penghuni kamar nomor delapan tidak hadir di acara Camilan Nusantara Party ini.
“Findi keluar, ya? tanyaku.
“Nggak, Mbak. Tadi ada di kamar kok,” jawab Arga, adik kostku.
“Kok nggak ikut makan-makan?” tanyaku lagi.
“Findi lagi diet, Mbak. No Dinner, No nyamil,” lanjut Riski.
“Wah, sayang banget. Padahal ini adanya cuma setahun sekali,” kali ini Wahyu menimpali, sang penakluk kamar nomor enam.
“Rugi…, rugi banget,” sambung Hesti.
***
Pukul 22:15 WIB, saat pintu kamarku diketuk Findi.
“Mbak, bisa minta tolong kerokin punggungku, nggak? Aku masuk angin, nih,” rengeknya.
“Ha? Waduuh.., aku nggak berani, Fin. Aku takut ngerokin orang. Nggak tega,” Jawabku sambil melongokkan wajah di pintu kamar.
            “Oh, ya udah, deh, aku minta tolong Riski aja”
            Ternyata tak seorang pun memiliki bakat ngerokin orang di kost-an Tulip’s ini. Semua sama tak teganya.
            Akhirnya aku, Riski dan Arga, ikut masuk ke kamar Findi. Sekedar menemaninya dan berbingung-ria, ini mesti diapakan. Wajah Findi tirus dan pucat tak karuan. Saran hanya satu, “Diolesin minyak kayu putih saja”.
            Cerita punya cerita di malam itu juga. Ternyata perut Findi sudah seminggu tak berkawan dengan nasi. Lambung made in Indonesia itu cuma dijatah Juice apel tiga kali sehari. Tidak berkesudahan repet panjangku. Apa-apaan ini! Kucing saja tidak akan sanggup hidup tanpa nasi!
            Belum selesai ‘orasi ilmiah’ku, Riski melirik keranjang pernak-pernik di kamar Findi.
            “Loh? Kamu masih konsumsi obat ini, Fin?” Tanya Riski, aneh.
            “Hmm.., iya,” jawab Fini was-was.
            “Sebenarnya…, tadi siang aku minum obat itu, terus kok tiba-tiba badanku kaku semua, nggak bisa gerak. Makanya aku nggak keluar kamar seharian,” lanjut Findi dengan suara lemas.
Reflek kami bertiga, aku, Riski, dan Arga, berpandangan satu sama lain. Aku rasa kami sama-sama berpikir, “Berani amat”. Obat diet itu tidak ada izin dari POM. Seharusnya tidak ada lagi alasan untuk tetap menkonsumsinya.
Kuambil kotak obat itu. “Hidup obat laknat ini harus berakhir malam ini juga. Besok pagi, angkutan sampah akan menjadi tempat terakhirnya di muka bumi,” batinku berlebihan.
Tidak selamat Findi malam ini, ‘orasi’ masih mengguyur telinganya. Tidak aku saja, Riski dan Arga pun tak kalah semangat mengayun-ayunkan spanduk-spanduk berisikan kata “Jauhkan diri dari program diet tak sehat”, sesekali meneriakkan kata setuju dengan apa yang diucapkan ‘sang orator’ (sumpah!! Berlebihan banget).
“Udah tau nggak ada izinnya kenapa masih diminum aja??!!”
“Besok mesti ke rumah sakit,” perintahku.
“Iya, Mbak,” jawab Findi lemas.
“Besok-besok, aku nggak mau dengar kamu masuk angin, kaku-kaku, pucat, gemetaran, karena obat diet,” ancamku.
“Iya, Mbak. Baru kali ini kok. Nggak mau lagi, sumpah, dah,”
“Ya, sudah. Sekarang istirahat aja,” perintahku menutup malam tragedi obat diet yang suram itu. 

Selasa, 19 Februari 2013

Masih


-Syarifah Zainab-

Memungut kisah lama
Merakitnya menjadi sebuah kotak berisikan cerita
Cerita aku punya dunia
Yang mungkin akan tertinggal, tergeletak sia-sia

Asa berpendar
Terkikis oleh kenyataan
Bahwa tak layak aku ada
Untuk membuang waktu disana

Miris hati
Detakannya kian kencang
Saat terpikir aku akan tinggalkannya
Untuk hal lain yang tak kuingin

Bolehkah?
Bolehkah aku tetap berada disana
Meraih setiap gairah mimpi
Mimpi yang takut-takut kudekati

Tak terkatakan,
Karena hanya sebatas dipikirkan
Tak tersampaikan,
Karena hanya sebatas dituliskan

Gamang dengan keharusan
Kaki tak menumpu jiwanya
Raga tak menjadi miliknya
Diri ini bukan milikku seutuhnya

 4 januari 2011- Sibreh

Minggu, 17 Februari 2013

Bukan Hanya Satria Baja Hitam Saja yang Bisa Berubah, Kawan!

-syarifah zainab-

Segalanya akan berubah karena manusia selalu mencari, menemukan, kemudian mencari kembali hingga menemukan yang benar-benar membuatnya nyaman. Sekarang, apakah perubahan itu akan mewujudkan sebuah kebaikan? Jawabannya tentu ada di dalam diri kita masing-masing.
            Manusia dilahirkan memiliki fitrah untuk menjadi baik. Tetapi tidak dapat disangkal, manusia dengan segudang nafsu yang dimilikinya juga tidak selalu dapat menghiraukan ajakan setan. Jika sudah seperti itu, lalu, buat apa akal dan perasaan yang dikaruniakan Tuhan untuk manusia? Lalu, apa artinya iman yang telah menyatu lama dalam tiap tetesan darah kita?
            Sesuatu yang baik dilihat dari sudut pandang manapun adalah baik. Tidak perlu pembenaran yang dipaksa untuk mengatakan kebaikan itu adalah salah. Semestinya manusia secara naluriah mampu menyadari hal itu. Kecenderungan manusia yang malas berpikir dan berusaha-lah yang menjadikan ia tidak mampu berpikiran ke depan. Dengki, iri, dendam, kekecewaan yang berlarut-larut, malas yang dipelihara, mengaburkan tiap celah titik terang menuju kebaikan.
            Manusia terlalu betah memelihara perasaan dan pikiran negatif tersebut. Manusia merasa sangat rendah walau hanya sekedar memaafkan dan membuka hatinya untuk orang lain. Lupakah bahwa masih ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan dari pada terus berjibaku dengan berbagai keluhan, kekecewaan, dan segala perasaan serta pikiran yang tak membawa kebaikan sama sekali. Pernahkah terpikirkan bahwa dendam, iri, dengki, dan sebagainya itu menghambat hidupmu? Oh, betapa ruginya mereka yang memeliharanya. Betapa banyak waktu terbuang sia-sia. Coba kembali dipikirkan, betapa banyak peluang kebaikan yang terlewatkan hanya karena sedikit kekesalan yang ditumpuk menjadi kesakitan hati yang tak patut dipelihara itu? Ternyata kita, manusia, tak juga mengerti bahwa tiap pikiran, perasaan, dan tindakan yang kita lakukan untuk siapapun adalah tabungan kebaikan di akhirat kelak, itupun jika kau percaya dengan hari pembalasan.
            Kesalahan tak selamanya buruk karena akan membawa manusia berpikir untuk menjadi lebih baik. Kau tahu, bukan? Bahwa Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Pemberi Maaf. Kata terlambat adalah hanya untuk mereka yang tidak ada niat berubah. Bersegeralah karena menunda-nunda hanya akan membuat tumpul hatimu.
            Sulit untuk merubah kebiasaan, apalagi kebiasaan itu melenakan kita. Menggiurkan kehidupan duniawi yang hanya dapat dinikmati sekali saja. Ditambah lagi dengan alasan yang kita lakukan adalah tidak mengganggu siapapun dan tidak merugikan siapapun. Begitukah yang terpikirkan? Sependek itukah pikiran manusia? Adakah sia-sia Tuhan telah memerintahkan agar umatnya selalu membaca (iqra’)?
            Bacalah, bacalah setiap apa yang dilihat. Bacalah setiap langkah yang akan diambil dalam mewujudkan kebaikan hatimu, keelokan budimu, kebagusan pikiranmu. Hingga kau dapat benar-benar merasakan betapa sejuknya angin, betapa hangatnya mentari, dan betapa nikmatnya saat hujan.
Adakah kau berpikir tentang kepompong yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu? Mengepakkan sayapnya, memperlihatkan keelokkannya, menuai senyum dari setiap orang yang melihatnya. Sekian lama ia terkurung di dalam tempat yang gelap, namun tidaklah ia berniat untuk tetap tinggal berlama-lama di tempat sempit itu. Meskipun tempat itu memberikan kenyamanan, kehangatan, dan jauh dari kebodohan dunia.
Tidak! Ia harus keluar, karena ia punya tugas yang lebih mulia dari pada sekedar menjadi kepompong. Ia harus menjadi ciptaan Tuhan yang bermanfaat. Menjalankan tugasnya sebagai penebar kebaikan.
Bukankah begitu semestinya wahai, manusia. Adakah kau juga ingin mengepakkan sayap indahmu? Sayap kebaikanmu? Menjadi bermanfaat bagi Ayah, Ibu, Kakak dan adikmu? Hingga meluas kepada seluruh manusia disekelilingmu.
Berubahlah..
Kembangkan sayap-sayap kebaikanmu, maka langkahmu akan berarti. Rajut helai-helai senyum setiap orang yang kau temui, hingga membentuk sekumpulan mozaik yang menyatukan kembali orang-orang yang kau sayangi di hari akhir nanti.